Isi Artikel
Pernahkah ketika sedang ngobrol tentang agama ditanya dalilnya dari mana? Apakah bisa Anda jawab? Nah di artikel ini akan dijelaskan pengertian dalil, jenis-jenisnya dan yang membedakan dengan hadist.
Seperti yang banyak kalangan ketahui, bahwa dalil sangat penting dalam mengambil kesimpulan suatu perkara ada petunjuknya atau keterangannya yang bisa dijadikan bukti.
Dalam agama islam tentu semuanya sudah diatur dalam berbagai aspek kehidupan, dari aspek ibadah sampai aspek muamalah. Semua sudah diatur secara universal oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai ummat islam haruslah patuh terhadap perintah Allah SWT.
Yang di mana senantiasa melakukan segala sesuatu dengan sumber dalil yang jelas, agar hidupnya selamat di dunia maupun di akhirat.
Pengertian Dalil
Pengertian dalil menurut bahasa artinya adalah petunjuk, sedangkan menurut istilah artinya yaitu bukti yang bisa dijadikan sebagai sebuah petujuk untuk mengungkapkan apakah permasalahan tersebut benar atau salah. Ada juga pengertian lain yang menyatakan bahwa, dalil ini merupakan sebuah keterangan yang dapat dijadikan suatu bukti atau alasan kebenaran, terutama yang didasarkan pada Al-Qur’an.
Dalil merupakan suatu keterangan yang dijadikan sebagai bukti sebuah kebenaran dalam suatu perkara. Dalil-dalil muttafaq (yang disepakati kesahahihannya) ada empat yaitu, diambil dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan juga qiyas (analogi).
Arti dari ijma’ merupakan suatu proses untuk mengumpulkan berbagai perkara dan memberinya sebuah hukum dari suatu perkara tersebut.
Sedangkan qiyas merupakan sebuah proses pengukuran atau mekanisme untuk mencari tahu sebuah hukum, dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan yang ada.
Setelah itu mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil muttafaq yang sudah ada, yaitu dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Artinya bahwa qiyas di sini hanya digunakan apabila suatu hukum tidak ditemukan kejelasannya dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Baca Juga: Ini Keutamaan Hafal Al-Quran
Namun selain dalil muttafaq (yang disepakati keshahihannya) adapula dalil yang tidak disepakati, akan tetapi digunakan oleh para ulama untuk meng-istinbath atau mencari tahu tentang suatu hukum. Seperti qaul shahabiy (pendapat para sahabat), istihsan, mashlahah mursalah, urf (adat yang didak bertentangan dengan syara’), syaru man qablana (syariat umat terdahulu), saddud dzariah dan istishab.
Dalil ini sebagai salah satu petunjuk yang sangat penting dalam islam, karena dalil digunakan untuk menghilangkan adanya segala keraguan dan kecemasan yang ada pada diri ummat islam. Untuk mengetahui sebuah hukum permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, karena sejatinya manusia diciptakan untuk beribadah.
Jadi, apapun yang dilakukan manusia dalam kesehariannya itu bisa bernilai ibadah apabila pengerjaannya sesuai pedoman atau dalil yang ada di dalam Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Akan tetapi, penggunaan dalil ini haruslah dipahami terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kesimpulan yang salah atau memiliki arti dan makna yang tidak sesuai.
Maka dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalil merupakan sebuah petunjuk atau tanda bukti untuk mencari kebenaran dalam suatu permasalahan yang terjadi.
Jenis-Jenis Dalil
Dalil dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Dalil Aqli
Secara istilah dalil aqli dapat diartikan dalam kata ‘aql (memiliki arti akal), secara etimologi dalam bahasa arab kata ‘aql mempunyai arti al-hikmah (kebijakan), ad-diyah (denda), husnut tasharruf (tindakan yang benar atau tepat).
Namun secara bahasa dalil aqli adalah sebagai petunjuk yang didasarkan pada akal pikiran, sedangkan menurut istilah dalil aqli adalah sebuah bukti-bukti atau alasan terkait sesuatu, apakah benar atau salah yang didasarkan dengan pertimbangan akal pikiran manusia.
Dalil aqli ini bisa digunakan untuk membicarakan tentang ilmu aqidah, karena aqidah ini sangat berlaku pada orang-orang yang mempunyai akal sehat.
Dalil aqli ini dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu:
Wajib Aqli
Yaitu kepastian akal sehat yang dapat menerima kepastian tertentu. Kemudian aqli wajib sendiri dibagi menjadi dua macam, antaranya yaitu adalah wajib aqli badhihi (kebenaran yang dapat diterima oleh akal tanpa adanya pembuktian yang mendalam, atau dapat diterima tanpa dipikir), dan wajib aqli nazhari, yaitu kebenaran sesuatu yang bisa diterima oleh akal manusia, setelah dipikir, dibahas, diuraikan, dan dilakukannya sebuah penelitian.
Mustahil Aqli
Merupakan akal sehat yang telah mengingkari sesuatu yang terjadi. Mustahil aqli inipun dibagi menjadi dua macam yaitu, mustahi aqli badhi yaitu misalnya mustahil pakaian seorang anak bayi akan bisa dipakai oleh tubuh orang yang dewasa), kemudian mustahil aqli nashari yaitu hal yang ditolak oleh akal setelah adanya pembahasan yang kukuh, misalnya yaitu ada yang dapat menyaingi Allah.
Jaiz Aqli
Hukum yang ketiga ini dapat diterima atau ditolak oleh akal manusia, misalnya ketika cuaca mendung, ada yang yakin bahwa hari itu akan turun hujan, dan adapula yang yakin bahwa hanya sekedar mendung dan tidak akan turun hujan.
Di dalam Al-Qur’an Allah juga menegaskan dalam firman-Nya terkait kewajiban menggunakan akal yaitu ada pada QS. Al-Baqarah ayat 164, yang terjemahannya yaitu:
“Bahwa sesungguhkan dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turukan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir.”
Dalil Naqli
Pengertian dalil naqli ini menurut bahasa artinya adalah nash Al-Qur’an atau sunnah, sedangkan menurut istilah artinya adalah sebuah bukti-bukti tentang kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu yang terjadi berdasarkan dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Walaupun manusia Allah berikan akal, namun tak semua sesuatu itu bisa dijangkau oleh akal manusia, dalam arti akal manusia itu ada batasnya. Misalnya saja bahwa manusia itu tidak akan mampu untuk menyelidiki sesuatu yang sifatnya gaib. Contohnya tentang akhirat, ruh, dzat Allah, dan sebagainya. Oleh karena itu perlunya sebuah firman yang datangnya dari Allah kepada Rasul-Nya.
Perbedaan Dalil dan Hadist
Dalil mengarah pada pencarian suatu keterangan yang dijadikan sebagai bukti sebuah kebenaran dalam suatu perkara. Atau bisa diartikan bahwa suatu hal yang menunjuk pada sesuatu yang sedang dicari, yaitu berupa alasan, keterangan, dan pendapat yang merujuk pada hal pengertian, hukum, dan sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang dicari.
Sedangkan hadist merupakan sesuatu yang bersumber dari perkataan (sabda), perbuatan, dan ketetapan, serta persetujuan yang asalnya dari Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan landasan atau rujukan terkait syariat dalam agama islam.
Contoh Dalil
Yang pertama contoh dari dalil naqli yaitu ada pada QS. Az-Zukruf ayat 87 yang artinya:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, lalu bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
Contoh tersebut merupakan dalil naqli yang di dapat dari firman Allah di dalam Al-Qur’an mengenai keberadaan Allah sebagai pencipta mereka yang selalu menjadi pertanyaan pada seorang muslim.
Yang kedua yaitu dalil aqli, yang lebih menggunakan pemikiran seperti: pembahasan, teori penyebabnya, dan penelitian. Contohnya bagaimana air hujan bisa turun, orang-orang terdahulu menganggap turunnya air hujan itu adalah bentuk kekuatan dari dewa atau kekuatan gaib.
Padahal jika diteliti lagi menggunakan akal, bahwa air hujan terjadi karena ada penyebabnya dari fenomena alam.
Yaitu air hujan terjadi karena awalnya berasal dari air laut yang menguap akibat panas matahari, yang setelah itu membentuk uap air kemudian naik ke udara.
Uap air tersebut terjadi proses pengembunan yang akan berbentuk awan, dan jika awan tersebut telah penuh dengan uap air, maka uap air tersebut akan turun berbentuk air hujan yang jatuh di permukaan bumi.